Empatbelas: Siapa yang Mendengar?
Sangat luar biasa melihat pasangan muda jatuh cinta. Mereka tidak sulit saling berkomunikasi, bicara dengan semangat dan meluap-luap selama berjam-jam. Ada saatnya kita melihat keduanya bicara dan kita bertanya siapa yang mendengar. Kenyataannya, mereka berdua saling mendengar. Mereka seperti komunikator ulung yang memiliki kemampuan yang jarang dalam bicara dan mendengar pada saat yang sama.
Kemudian mereka menikah dan sesuatu berubah. Mereka mulai merasa sudah mendengar hampir semua hal menarik yang akan dikatakan pasangannya, atau mereka sudah tahu sebagian besar yang harus diketahui. Dan sejujurnya, mereka tidak yakin apakah mereka senang dengan apa yang dikatakan pasangannya. Jadi mendengar tidak lagi mudah, menarik atau sepenting sebelumnya. Itu tidak datang secara ototmatis seperti dulu. Sekarang itu seperti pekerjaan. Butuh waktu dan tenaga yang mereka tidak ingin berikan. Itu merupakan seni yang harus dibangun dan dikembangkan. Mereka mulai kehilangan motivasi dan cenderung mendengar diri sendiri. Dan sekali lagi kita bertanya siapa yang mendengar.
Saat ceritanya berlanjut, ada saat dimana yang pria bicara dan wanita mendengar. Dibulan madu, wanita bicara dan pria mendengar. Dan sekarang mereka tinggal dalam rumah sendiri, keduanya bicara dan tetangga yang dengar. Dan jika mereka tidak berteriak cukup keras sehingga tetangga bisa dengar, mungkin tidak ada yang mendengar.
Masalahnya tidak hanya terjadi diperkawinan. Kegagalan kita untuk mendengar dalam hidup merupakan penghalang paling serius dalam hubungan antar pribadi kita. Kita bisa melihat seseorang langsung dimatanya, mengangguk setuju dan mengeluarkan suara ““Uh huh” sementara pikiran kita ribuan mil jauhnya—membetulkan ayunan golf, jengkel dengan kontrak yang hilang, khawatir tentang laporan kemarin dari dokter, memburu harimau dipadang Afrika, merencanakan makan malam atau ratusan pilihan lainnya. Kita hanya memberi perhatian tiruan terhadap apa yang dikatakan, atau kita tidak memperhatikan sama sekali.
Mari kita hadapi ini, hampir semua dari kita lebih ingin bicara daripada mendengar. Kita menganggap mendengar itu selingan sementara dan tidak menyenangkan antara kesempatan mengatakan apa yang ingin kita bicarakan. Kita tidak mendengar apa yang orang lain katakan, tapi memikirkan apa yang akan kita katakan selanjutnya, baik mengherankan dan menghibur teman kita, atau membingungkan dan meyakinkan lawan kita. Hasilnya mungkin percakapan, tapi bukan komunikasi. Kita mungkin dalam suatu kelompok, tapi kita berfungsi sebagai tubuh. Tidak ada persekutuan sejati yang terjadi. Kita tidakbelajar mengenal satu sama lain lebih baik sehingga kita bisa melayani lebih efektif bagi kepentingan orang lain. Kita berdiri sendiri-sendiri dalam kelompok, setiap orang meminta ada yang mendengar dan peduli. Kita baru bisa berhubungan dengan orang saat kita mendengar. Kita akan membahas tentang percakapan dalam buku ini. Mari kita membahas tentang mendengar.
Halangan Untuk Mendengar
Mendengar adalah pekerjaan berat, itu harus diakui. Beberapa orang bicara sangat lambat sehingga kita ingin sekali menarik kata-katanya keluar dari mulutnya. Kita berpikir 5 kali lebih cepat daripada rata-rata orang bicara, dan itu menambah masalah dalam mendengar. Orang lain bicara begitu cepat sehingga melewati kata-kata mereka sendiri sehingga kita tidak bisa mengerti. Beberapa orang bicara sangat lembut sampai-sampai kita tidak bisa mendengar. Orang lain bicara begitu keras sehingga kita malu berada didekat mereka. Beberapa orang bicara tentang hal yang tidak relevan dan tidak logis. Orang lain bicara tentang hal yang tidak penting sehingga membuat kita bosan. Beberapa orang tidak serius dengan kata-kata mereka. Orang lain tidak tahu kapan berhenti. Diatas semuanya, mendengarkan bisa menjadi sesuatu yang sulit.
Sebagian besar dari kita bisa lebih peka terhadap orang lain saat kita bicara dan tidak menyalahgunakan bantuan mereka saat mereka memberi kita telinga untuk mendengar. Tapi orang ini juga yang paling sulit mendengar merupakan orang yang perlu menjadi pendengar, dan Tuhan mungkin meminta kita menjadi pendengar mereka. Ada beberapa hal yang tidak bisa kita lakukan, tapi setidaknya jika kita memiliki satu telinga, kita seharusnya bisa mendengar.
Salah satu halangan terbesar yang harus kita atasi untuk menjadi pendengar yang baik adalah pelatihan awal kita dan kebiasaan. Sebagai anak-anak, kita mungkin disuruh diam, berhenti memotong, disuruh pergi karena mama dan papa tidak punya waktu mendengar. Dan kita akhirnya memiliki pemikiran bahwa orang dewasa tidak mendengar. Penyelidikan terhadap sekolah anak-anak menunjukan bahwa mendengar semakin menurut setiap kenaikan kelas. Kelihatannya semakin tua kita semakin tidak bisa mendengar.
Sepertinya juga semakin tua kita, semakin membiarkan diri kita terbagi oleh factor eksternal—orang-orang yang berjalan, bunyian, tekanan waktu, penampilan orang yang bicara atau tindakan mengganggu lainnya. Saya tidak ingat lagi bicara dengan orang yang bertanya setiap beberapa kalimat, “Kamu mengerti maksud saya kan?” Saya lebih memikirkan pertanyaan itu daripada apa yang dikatakannya.
Kadang mendengar bisa mengancam kita. Kita takut kalau kita mendengar kritik diri kita yang tidak mau kita hadapi, beberapa perubahan yang tidak mau kita lakukan, atau tuntutan yang tidak mau kita kerjakan. Kita mungkin mendengar suatu pemikiran yang bertentangan dengan beberapa pendapat kita sehingga kita lebih baik menyerah. Pertahanan terbaik kita adalah berhenti memperhatikan. Kita mungkin merasa itu mengambil terlalu banyak usaha untk mengerti apa yang dikatakan pada kita, jadi kita melarikan diri dan mematikan peralatan mental untuk mendengar. Terlalu bermasalah jika mendengar. Jadi kenapa pusing?
Kenapa pusing? Itu pertanyaan yang baik. Mari kita jawab.
Motivasi Mendengar
Jika saya mengusulkan satu alasan yang baik untuk membangun seni mendengar, itu bisa ditemukan dalam
1 John 4:7: “Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah.” Mendengar itu sangat penting dan perlu dalam menyatakan kasih. Kasih adalah memberikan diri kita dengan berkorban dan tidak bersyarat dalam memenuhi kebutuhan mereka yang membutuhkan. Dan satu kebutuhan umum semua manusia adalah dimengerti. Kita ingin yakin kalau seseorang mengenal kita, peka untuk mengetahui apa yang terjadi dalam kita, merasakan apa yang kita rasakan dikedalaman keberadaan kita, dan tetap menerima kita dan peduli pada kita. Mungkin saja bagi setiap orang melakukan itu tapi hanya satu yang benar-benar mendengar. Dengan mendengar kita berkata, “Saya peduli terhadap kamu. Kamu cukup penting sehingga diberi waktu dan usaha untuk mengerti kamu.”
Jadi kita mendengar. Kita bisa mengatakan dengan mulut berulang kali, “Saya cinta kamu,” tapi itu tidak berarti kecuali kita mau mengesampingkan hal lain dan memberi diri kita untuk mengerti kebutuhan terdalam orang yang kita kasihi. Kasih sejati berfokus pada keuntungan yang lain daripada keuntungan kita, dan itu berarti mencoba mengerti mereka. Kita semua ingin dimengerti, tapi Tuhan meminta kita untuk memberi waktu untuk mengerti.
Beberapa suami dan istri merasa sangat tidak dimengerti. Mereka mencoba mengkomunikasikan pada pasangannya pikiran, perasaan, kebutuhan, keinginan dan harapan, tapi mereka sangat sedikit mendapat respin. Pasangan mereka disibukan dengan hal lain seperti surat kabar, televise, pekerjaan rumah, hobi, atau pekerjaan. Kemudian satu hari mereka bertemu seseorang yang benar-benar tertarik terhadap perkataan mereka, dan mereka mengijinkan diri terbawa kedalam hubungan yang intim. Pihak ketiga mungkin kurang menarik dari pasangan mereka, tapi itu tidak masalah. Mereka pikir mereka telah bertemu seseorang yang peduli dan itu yang paling penting bagi mereka. Itu dosa! Tidak ada pembenaran yang bisa membuat hal itu jadi benar. Itu membawa masalah baru dan sakit hati, biasanya lebih buruk dari sebelumnya. Tapi itu tidak masalah bagi mereka. Mereka sekarang merasa dikasihi, diterima, dan dimengerti, dan itu yang paling penting bagi mereka. Itulah kekuatan dari telinga yang mendengar.
Orang akan sering pergi kekonselor professional karena mereka tahu akan didengar. Mereka datang bukan untuk mendapat saran tapi untuk didengar dengan penuh perhatian dan tidak terbagi, seseorang yang bisa mengerti dan menolong mereka mengerti diri sendiri. Tidak masalah kalau konselor menghabiskan uang. Mereka perlu telinga yang mendengar dan mereka tidak mampun menemukannya dalam diri pasangan mereka atau orang Kristen lainnya.
Saya membaca tentang kedai kopi di San Francisco yang punya ruang kedap suara, dimana itu disediakan untuk seseorang yang mau mendengar. Bisnisnya bagus. Orang ingin bicara, menyatakan pendapat, memberi saran, solusi yang cepat. Tapi hanya sedikit yang memberi waktu untuk mendengar dan mengerti. Pengertian seseorang tidak hanya berarti setuju dengan seseorang. Itu artinya merasakan apa yang dirasakan, melihat situasi dari cara pandangnya, dan bersimpati dengan dia.
Inilah satu cara dimana tubuh Kristus bisa saling melayani. Tidak mungkin bagi seorang pastor memenuhi kebutuhan ini dalam hidup setiap jemaatnya. Tapi kita bisa melayani sesama dengan cara ini. Kita tidak memerlukan pelatihan yang besar untuk menjadi pendengar yang baik, menanyakan pertanyaan pengarah dan mendorong orang untuk bicara. Kita memerlukan hal ini. Melalui mendengar, kita bisa saling menanggung beban dan dengan demikian memenuhi hukum Kristus (
Galatians 6:2). Melalui mendengar, kita bisa menunjukan kasih Kristus. Apakah anda ingin mencobanya? Jika mau, anda perlu tahu apa yang terlibat didalamnya.
Natur dari Mendengar
Rasul Yakobus memberikan pernyataan Alkitab tentang mendengar. “setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah” (
James 1:19). Dia baru memperkenalkan subjek dari Firman Tuhan, menekankan bahwa kita harus lahir baru melalui kebenaran Firman (v. 18), dan dia mendorong kita untuk menjadi pelaku Firman bukan hanya pendengar saja (v. 22). Jadi dalam konteksnya, ayat ini berkaitan dengan mendengar Firman Tuhan. Menutup mulut dan mendengar Firman Tuhan akan menjaga kita dari pembelaan diri atau mencela orang yang tidak setuju dengan kita.
Tapi dalam seruannya tentang Firman Tuhan, Yakobus menyentuh prinsip utama komunikasi antar pribadi yang baik. Lebih mendengar satu sama lain, dan lebih memikirkan sebelum kita menjawab akan menghasilkan lebih sedikit konflik dan kemarahan. Jadi cepat mendengar dan lambat bicara! Dengan kata lain, buatlah mendengar menjadi prioritas yang tinggi dalam hidup anda. Lakukan itu tanpa menunda, tanpa harus diminta; lakukanm itu dengan semangat dan antusias.
Melihat parallel antara mendengar Firman Tuhan dan mendengar sesama bisa sangat menolong. Penyelidikan Alkitab yang baik sangat baik untuk dimulai dengan mencari apa maksud Tuhan melalui perkataanNya, bukan arti yang ingin kita letakan. Mendengar yang baik juga sama. Tujuan kita adalah mengerti apa maksud orang lain melalui kata-kata yang mereka gunakan, bukan apa yang kita pikir itu maksud mereka atau ingin mereka memaksudkan itu. Kita punya kecenderungan alami memenuhi perkataan mereka dengan arti dan mewarnainya dengan latar belakan, pengalaman dan cara pikir serta pandangan kita, dan kita harus mengerti kecenderungan itu.
Sebagai contoh, Salomo mengatakan kalau rambut pengantinnya bagaikan kawanan kambing yang bergelombang turun dari pegunungan Gilead (Song of Solomon 4:1). Itu artinya dia cantik. Bayangkan semampu anda sekelompok besar kambing dibukit dalam gerakan yang indah. Dia mengerti itu. Jika anda mengatakan hal ini pada istri anda sekarang, dia mungkin tidak akan bicara dengan anda selama seminggu. Dia ingin mendengarnya dalam kerangka sekarang dan membacakan semua hal mengerikan itu, kecuali dia mengerti gambaran Alkitab dan mau mendengar kata-kata anda dalam terang itu.
Mendengar yang baik tidak hanya mendengar kata-kata, tapi berusaha mengerti arti pesan yang dimaksud pembicara melalui kata-katanya. Kita mungkin mampu mengulangi dengan tepat setiap kata tapi tetap tidak mengerti artinya. Seekor burung beo bisa mengulangi kata-kata. Tapi beo tidak bisa menjadi pendengar yang baik. Pendengar yang baik mendengar orang dan maksud mereka, dan membangun pengertian diantara mereka. Bukankah ini yang anda kehendaki? Bagaimana kita bisa cepat mendengar?
Berikan perhatian penuh. Yakobus mengatakan kalau kita harus mendengar Firman Tuhan. “Tetapi barangsiapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya” (
James 1:25). Kata itu sepertinya secara literal berarti “membungkuk disamping.” Ada intensitas tentang cara kita menyelidiki FirmanTuhan. Kita juga perlu saling mendengarkan satu sama lain. Itu mungkin berarti kita tidak mampu mendengar dengan baik sementara menonton pertandingan bola, membaca surat kabar, membersihkan lantai atau membereskan ruang tamu. Perhatian penuh membutuhkan kontak mata. Jika kita melihat kehal lain, melirik jam atau membunyikan jari, kita memberikan kesan tidak tertarik terhadapa perkataannya. Seperti yang sudah kita ketahui, bahasa tubuh bicara lebih keras dari kata-kata kita. Apa yang orang ingin sampaikan pada kita cukup penting sehingga kita harus menyingkirkan semua yang sedang kita lakukan. Apa yang ingin istri sampaikan kepada suami bahkan sangat penting sehingga mengharuskan suami mematikan pertandingan, hal ini aneh bagi kebanyakan suami. Jika kita tidak bisa memberikan perhatian penuh pada saat itu, maka kita harus menetapkan waktu dimana kita bisa, dan menepatinya.
Perhatian penuh juga kita butuhkan untuk menjaga pikiran tidak melayang. Seperti yang kita lakukan terhadap Firman Tuhan, terus ada didalamnya (
James 1:25), jadi kita harus mengamankan pikiran kita pada orang yang bicara pada kita dan memperhatikan apa yang dikatakan. Itu mungkin tidak mudah. Kita cenderung lebih tertarik pada hal yang menyenangkan. Tapi kita bisa mendisiplin diri untuk memperhatikan apa yang kita pilih. Membayangkan apa yang dikatakan orang, menempatkan diri dalam gambaran orang itu, atau mencoba merasakan apa yang dia rasakan bisa menolong kita merasakan pentingnya apa yang dia katakan, dan itu mempermudah kita berkonsentrasi mendengarkannya.
Jangan memotong. “lambat bicara” juga merupakan bagian penting dari mendengar dengan baik. Seringkali kita mengetahui apa yang akan dikatakan seseorang, jadi kita langsung kesana dan menyelesaikan kalimat itu untuknya. Sayangnya, kita bisa kehilangan maksud keseluruhan dan interupsi kita hanya semakin membingungkan masalah. Kita juga bisa cepat menyatakan ketidaksetujuan kita, atau menawarkan saran sebelum kita sepenuhnya mengerti masalah. Kita sebelumya sudah melihat kata Salomo. “Jikalau seseorang memberi jawab sebelum mendengar, itulah kebodohan dan kecelaannya” (
Proverbs 18:13). Apakah anda pernah melihat poster yang berkata, “Jika ada satu hal yang saya tidak bisa tahan, yaitu seseorang bicara sementara saya memotong”? Itu mungkin menggelikan, tapi mencerminkan kenyataan menyedihkan dari cara pikir kita.
Kita juga bisa memotong dengan cara halus. Bahkan sesuatu yang kelihatannya tidak penting terlihat dari wajah kita, “Oh, berapa kali saya harus mendengar hal ini?” Komunikasi yang mencekam dan membangun kebencian suatu hari bisa muncul dalam konflik. Kadang kita memotong pembicaraan untuk melakukan sesuatu yang menurut kita penting, tapi sebenarnya bisa dilakukan lain waktu. Telepon mungkin memotong komunikasi dalam rumah lebih dari hal lain. Ada saatnya kita harus membiarkan itu tetap berbunyi, atau menjawabnya dengan mengatakan akan menelepon kembali, atau biarkan itu tidak tersambung. Jika Tuhan ingin kita saling mendengar, kita perlu menempatkannya dalam prioritas yang utama.
Mendengar tanpa membela diri. Beberapa dari kita lebih baik tidak mendengar karena kita sudah memutuskan hal yang akan dibahas, atau didalamnya ada kritik, atau tuntutan akan perubahan. Jadi kita memotong yang bicara, mengubah bahan pembicaraan, atau menunjukan pembelaan kita sebelum selesai bicara. Itu sulit menunjukan kasih Kristus. Seperti kita harus menjadi pelaku Firman bukan hanya pendengar saja, jadi kita harus menerima informasi baru dari orang lain yang berbeda dari pandangan kita, dan mau mempertimbangkan membuat perubahan yang Tuhan ingin kita lakukan. Dengan kata lain, kita harus mempertimbangkan melakukan itu seperti kita mendengarnya.
Kita semua memiliki cara pikir dan kebiasaan yang selalu kita lakukan. Kita yakin tidak ada cara lain selain cara kita, sampai kita ditantang oleh seseorang yang lebih yakin akan caranya. Dalam hubungan perkawinan uang merupakan wilayah pertengkaran yang umum. Istri percaya suami yang harus membayar tagihan, walau yang lain merasa istrinya bisa juga bertanggung jawab terhadap hal itu. Satu pasangan berpendapat setiap sennya harus disimpan, sementara yang lain merasa setelah membayar tagihan dan memberi pada pekerjaan Tuhan, bisa diterima kalau mereka memberikannya untuk hiburan keluarga. Mereka mungkin berdebat tentang hal yang sama selama bertahun-tahun, dimana pikiran terbuka dan sikap tidak membela diri bisa membawa penyelesaian.
Liburan merupakan salah satu wilayah perbedaan. Salah satu menyukai gunung sedangkan yang lain menyukai pantai. Salah satu menyukain camping sementara yang lain lebih suka tinggal dihotel dimana tempat tidur lebih nyaman dan airnya lebih hangat. Satu orang ingin tetap berjalan dan melihat apa yang akan terjadi, sementara yang lain ingin berhenti dan bersantai, tidak melakukan apapun. Semua cara untuk berbagi perasaan atau memberi alasan pilihan mereka disambut dengan kemarahan dan satu lembar alasan logis. Tapi ini bukanlah kasih Kristus. Kasih tidak mementingkan diri sendiri (
1 Corinthians 13:5). Kasih tidak hanya mendengar orang lain tanpa terbagi, tapi juga peka terhadap perasaan mereka, mempertimbangkan pendapat mereka, terbuka terhadap apa yang mereka katakan, dan mau mempertimbangkan perubahan untuk kepentingan mereka. Itu menyatakan “saya peduli”
Jika kita tidak setuju dengan apa yang dikatakan, mungkin lebih baik minta kejelasan daripada langsung menyatakan perbedaan kita, dan jangan memberi jawab sampai kita mampu mengkomunikasikan pernyataan orang itu dengan memuaskan. Saat kita akhirnya bisa menyatakan kembali posisinya sehingga dia puas, kita bisa melihat perbedaan kita telah hilang. Mendengar dengan menanyakan dan meminta kejelasan juga bisa menolong kita menjaga kemarahan kita tidak meningkat, seperti kata Yakobus. Cepat mendengar dan lambat bicara juga lambat marah.
Katakan sesuatu. Sebagian suami terkenal kejahatannya karena tidak mau berespon sama sekali. Kita menjawab usaha istri untu berkomunikasi dengan diam. Walau istri yang diam merupakan spesies langka, ada beberapa yang seperti itu. Kita tahu kalau diam itu emas, dan ada saatnya 2 orang duduk bersama menikmati kebersamaan tanpa mengatakan apapun. Salomo berkata bahwa ada waktu bicara, dan ada waktu untuk diam (
Ecclesiastes 3:7). Tapi diam padahal seharusnya bicara bisa membingungkan. Itu bisa ditafsirkan kemarahan, tidak setuju atau bantahan atau bisa juga, pengertian, penerimaan atau izin. Itu bisa berarti “Saya tidak merasa kamu pantas didengar,” atau hanya “Saya tidak tahu apa yang harus dikatakan.” Tapi itu juga bisa diterjemahkan “Saya tidak peduli apa katamu.” Dan itu menyakitkan. Katakan sesuatu agar orang lain tahu kita mendengar dan peduli.
Katakan sesuatu seperti, “Saya mengerti apa yang anda katakan.” atau “Saya menghargai itu.” atau “Bagi saya sepertinya anda …” dan simpulkan apa yang anda pikir maksud perkataan orang itu. Ini memberi petunjuk anda tertarik dan ingin mendengar lebih lagi. Dan itu juga kasih. Saat kita benar mengasihi satu sama lain, kita tidak harus diminta, “Siapa yang mendengar?” Akan jadi jelas kita saling mendengar, kita ingin saling mengerti dan damai dengan sesama, dan itu memuliakan Tuhan.